Sabtu, 04 Januari 2014

Kampung-Kampung Adat Sunda Di Jawa Barat


Kasepuhan adat Ciptagelar adalah satu kampung adat yang masuk dalam Kesatuan Adat Banten Kidul, kasepuhan adat ciptagelar masih memegang kuat adat dan tradisi yang diturunkan sejak 640 tahun yang lalu. Kasepuhan ini dipimpin oleh seorang Abah yang diangkat berdasarkan keturunan, sampai saat ini kasepuhan adat Ciptagelar sedang dipimpin oleh Abah yang ke sebelas sejak tercatatnya kasepuhan ini dari tahun 1368.

Kasepuhan adat Ciptagelar berdiri di Bogor 640 tahun yang lalu. Tempat tinggal kasepuhan selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, pindahnya tempat tinggal ini dikarenakan datangnya wangsit dari leluhur kepada abah. Pada akhir tahun 2000 Abah Anom (alm. Encup Sucipta) sebagai pemimpin kasepuhan pada saat itu menerima wangsit (perintah) dari leluhur untuk pindah dari Kampung Ciptarasa ke Kampung Ciptagelar. Ciptagelar artinya terbuka atau pasrah menerima perpindahan tersebut. Wangsit ini diterima oleh alm. Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itu perpindahan kampung adat merupakan kesetiaan dan kepatuhan kepada para leluhur.

Secara administratif, kampung Ciptagelar berada di wilayah dusun Sukamulya, desa Sirnaresmi, kecamatan Cisolok, kabupaten Sukabumi. Jarak kampung Ciptagelar dari desa Sirnaresmi 14 km, dari kota kecamatan 27 km, dari pusat pemerintahan kabupaten Sukabumi 103 km dan dari Bandung 203 km ke arah barat. Kampung Ciptagelar berada pada posisi koodinat S 6°47'10,4" pada saat ini kasepuhan Ciptagelar dihuni oleh 293 orang yang terdiri dari 84 kepala keluarga yakni 151 orang laki-laki dan 142 orang perempuan (data tahun 2008).



Di Jawa Barat, masyarakat adat tak hanya berada di Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar. Setiap masyarakat adat memiliki ciri khas dan wilayah adatnya masing - masing. Sekalipun beberapa sudah mulai menerima masuknya Teknologi, warga kampung adat ini umumya masih memelihara dan melaksanakan wasiat leluhur secara teguh. Berikut, beberapa kampung adat yang ada di Jawa Barat :

Kampung Cikondang
Kampung Cikondang secara administratif terletak di dalam wilayah Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Kampung Cikondang ini berbatasan dengan Desa Cikalong dan Desa Cipinang (Kecamatan Cimaung) di sebelah utara, dengan Desa Pulosari di sebelah selatan, dengan desa Tribakti Mulya di sebelah Timur, serta di sebelah barat berbatasan dengan desa Sukamaju. Jarak dari Pusat Kota Bandung ke Kampung Adat Cikondang ini sekitar 38 Kilometer, sedangkan dari pusat Kecamatan Pangalengan sekitar 11 Kilometer. Dari Kota Bandung ke arah Selatan melewati Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Cimaung. Jarak dari ruas jalan Bandung-Pangalengan yang berada di wilayah Kampung Cibiana ke Kampung Cikondang satu kilometer. Sedang dari jalan komplek perkantoran PLTA Cikalong, melewatai bendungan dengan tangga betonnya, selanjutnya melalui Kantor Desa Lamajang sekitar satu setengah kilometer.
Menurut kuncen Kampung Cikondang, konon mulanya di daerah ini ada seke (mata air) yang ditumbuhi pohon besar yang dinamakan Kondang. Oleh karena itu selanjutnya tempat ini dinamakan Cikondang atau kampung Cikondang. Nama itu perpaduan antara sumber air dan pohon Kondang; “Ci” berasal dari kependekan kata “cai” artinya air (sumber air), sedangkan “kondang” adalah nama pohon tadi..

Masih menurut penuturan kuncen, untuk menyatakan kapan dan siapa yang mendirikan kampung Cikondang sangat sulit untuk dipastikan. Namun, masyarakat meyakini bahwa karuhun (Ieluhur) mereka adalah salah seorang wali yang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Mereka memanggilnya dengan sebutan Uyut Pameget dan Uyut Istri yang diyakini membawa berkah dan dapat ngauban (melindungi) anak cucunya.
Kapan Uyut Pameget dan Uyut Istri mulai membuka kawasan Cikondang menjadi suatu pemukiman? Tidak ada bukti konkrit yang menerangkan kejadian itu, baik yang tertulis maupun lisan. Menurut perkiraan seorang tokoh masyarakat, Bumi Adat diperkirakan telah berusia 200 tahun. Jadi, diperkirakan Uyut Pameget dan Uyut Istri mendirikan pemukiman di kampung Cikondang kurang Iebih pada awal abad ke-XIX atau sekitar tahun 1800.

Kampung Mahmud

Kampung Mahmud berada di Desa Mekar rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Kampung adat ini adalah kampung bersejarah yang dihuni 200 kepala keluarga di area seluas 4 hektar, dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Sang pendiri, Embah Eyang Abdul Manaf, keturunan dari Syarif Hidayatuliah seorang wali yang berasal dari Cirebon, mendirikan kampong ini di pinggiran Sungai Citarum setelah kembali dari haji, di mana beliau mendapat firasat bahwa negerinya akan dijajah oleh bangsa asing (Belanda). Nama Mahmud diberikan sesuai dengan nama tempat Eyang Manaf berdoa ketika berada di Mekah, yakni Gubah Mahmud. Pada jaman penjajahan, tempat ini dimanfaatkan untuk tempat persembunyian yang aman oleh penduduk daerah sekitar. Sampai saat ini, masyarakat Kampung Mahmud sangat mencintai dan menghormati leluhurnya, dengan memelihara makamnya dengan baik, bahkan menempatkannya sebagai makam keramat yang senantiasa diziarahi oleh mereka.

Kampung Urug

Kampung Urug berada di wilayah bogor, sekitar 48 KM dari pusat kota. Kampung adat ini adalah sebuah kampung adat yang masyarakatnya percaya sebagai keturunan Prabu Siliwangi, raja di Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Salah satu bukti yang dianggap mendukung hal itu adalah konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, yang memiliki ciri sambungan kayu yang sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada salah satu bangunan di Cirebon yang juga merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.

Kata Urug dijadikan nama kampung karena dianggap berasal dari kata "Guru", dengan mengubah cara membaca yang dilakukan dari kiri namun sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata "Guru" berdasarkan etimologi rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang guru haruslah "digugu dan "ditiru", artinya dipatuhi dan diteladani segala pengajaran dan petuahnya.

Kampung Pulo

Merupakan suatu perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang, di Kecamatan leles, kabupaten Garut. Menurut cerita rakyat, masyarakat Kampung Pulo dulunya menganut agama Hindu, lalu Embah Dalem Arif Muhammad singgah di daerah ini karena terpaksa mundur pada saat mengalami kekalahan sewaktu menyerang Belanda. Karena malu kepada Sultan Agung maka Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau kembali ke Mataram. Pada saat itu beliau mulai menyebarkan agama Islam pada masyarakat Kampung Pulo. Sampai dengan beliau wafat dan dimakamkandi Kampung Pulo, beliau meinggalkan 6 orang anak dan salah satunya adalah pria. Oleh karena itu di Kampung Pulo didirikan 6 buah rumah adat yang berjajar saling berhadapan masing-masing 3 buah rumah di kiri dan di kanan ditambah dengan sebuah mesjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah ataupun dikurangi, serta yang tinggal di dalam rumah tersebut tidak boleh melebihi dari 6 kepala keluarga. Jika seorang anak laki-laki sudah dewasa dan menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus segera meninggalkan rumah dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut. Walaupun 100 % dari warga Kampung Pulo beragama Islam, mereka tetap melaksanakan sebagian dari upacara ritual agama Hindu.

Kampung Naga

Kampung Naga berlokasi di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Kampung ini telah lama dikenal sebagai salah satu kampung adat di Jawa Barat. Menurut salah satu versi sejarahnya, Kampung Naga bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Kemudian seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke arah barat dan sampai di daerah Neglasari. Di tempat tersebut, Singaparana disebut Sembah Dalem Singaparana oleh masyarakat setempat. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk untuk bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.

Tokoh leluhur Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat setempat adalah Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana atau Eyang Galunggung, yang dimakamkan di sebelah barat Kampung Naga. Makam ini dianggap sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Eyang Singaparna tidak meninggal dunia melainkan hilang tanpa meninggalkan jasad. Di tempat yang dipercaya sebagai tempat hilangnya Eyang Singaparna itu masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan masyarakat Kampung Naga.

Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati seperti Pangeran Kudratullah, yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama Islam,  Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan", Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, yang menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan", Pangeran Mangkubawang, yang menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan, dan Sunan Gunungjati Kalijaga, yang menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian.

Lokasi Kampung Naga sendiri tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas alam di sebelah barat berupa hutan yang dianggap keramat karena terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi Sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga.

Kampung Kuta

Kampung yang konon sempat dicalonkan sebagai ibukota Kerajaan Galuh ini dikelilingi oleh perbukitan (kuta = tembok), dari mana namanya berasal. Yang unik di sini adalah pelapisan sosial yang didasarkan pada status dan peran; golongan yang memimpin secara formal menduduki jabatan tertentu dalam lembaga pemerintahan desa seperti kepala desa, kepala dusun, ketua RW, dan ketua RT, sedangkan pimpinan non-formal adalah pimpinan berdasarkan penghormatan dan penghargaan masyarakat terhadap seseorang karena alasan usia, pengalaman, pengetahuan, dan peran di lingkungannya (dikenal dengan sebutan sesepuh dan kuncen).

Walau masyarakat Kampung Kuta terikat pada aturan-aturan adat, mereka mengenal dan menggemari berbagai kesenian, baik tradisional maupun modern seperti calung, reog, sandiwara (drama Sunda), tagoni (terbang), kliningan, jaipongan, kasidah, ronggeng, sampai dangdut. Anda dapat menyaksikannya pada saat selamatan/hajatan, terutama hajatan perkawinan dan penerimaan tamu kampung.

Kampung Dukuh

Kampung Dukuh berlokasi di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Dalam kisah tradisi yang dipercayai masyarakat setempat bahwa yang berjasa sebagai pendiri Kampung Dukuh adalah Syekh Abdul Jalil.

Menurut cerita nama dukuh diambil dari bahasa Sunda yang berarti tukuh (kukuh, patuh, teguh), dalam mempertahankan apa yang yang menjadi miliknya, atau taat dan sangat patuh menjalankan tradisi warisan nenek moyangnya. Menurut penuturan (2006) Lukmanul Hakim, Juru Kunci (Kuncen) Kampung Dukuh istilah dukuh berasal dari padukuhan atau dukuh = calik = duduk. Jadi padukuhan sama dengan pacalikan atau tempat bermukim.

Kampung Dukuh merupakan kesatuan pemukiman yang mengelompok, terdiri atas beberapa puluh rumah yang berjajar pada kemiringan tanah yang bertingkat. Pada tiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari arah barat ke timur. Letak antar rumah hampir berdempetan, sehingga jalan kampung terletak di sela-sela rumah penduduk berupa jalan setapak. Kampung Dukuh terdiri atas dua daerah pemukiman yaitu Dukuh Luar (Dukuh Landeuh = bawah) dan Dukuh Dalam (Dukuh Tonggoh = atas). Selain Dukuh Luar dan Dukuh Dalam, terdapat wilayah lain yang bernama Tanah Karomah (tanah keramat). Di dalam wilayah Tanah Karomah terdapat Makam Karomah (makam keramat). Di antara ketiga wilayah ini dibatasi oleh pagar tanaman. 

Kampung Cigugur (Kab. Kuningan)

Kampung Cigugur pada tahun 1921 dahulu, adalah pusat kepercayaan Madraisme, ajaran yang dikembangkan oleh Pangeran Kerajaan Gebang Losari, Cirebon, Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat, atau dikenal juga sebagai Pangeran Madrais.
Kepercayaan ini oleh Belanda (awam) dikenal dengan nama Agama Djawa Sunda (ADS), dari filosofi yang dimiliki Madraisme, yaitu “Andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den tunda”, yang berarti memilih dan menyaring ruh kehidupan alam untuk menyempurnakan menjadi ruh insan. Jadi, istilah Djawa dan Sunda pada ADS tidak ada kaitannya sama sekali dengan identitas pulau atau kesukuan Jawa maupun Sunda.
Saat ADS dibubarkan pemerintah pada tahun 1964, pemimpin kepercayaan ini, Tedjakusuma menggiring pengikutnya memeluk Katolik. Lalu putranya, Djatikusumah mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun (PACK) yang beranggotakan mantan Madraisme yang telah menjadi Katolik. Hingga pada tahun 1982, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melarang aliran Djatikusumah yang dianggap meneruskan Madraisme.

(diambil dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar